“Diwajibkan bagi kamu untuk berlaku jujur, karena sejatinya kejujuran itu menunjuki pada kebenaran, dan kebaikan itu menghantarkan ke surga. Seseorang tiada henti-hentinya berkata dan berlaku jujur dan mengusahakan dengan sungguh-sungguh akan kejujuran, sehingga dia dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur.”(HR. Bukhori).
Alkisah, hiduplah seorang pedagang permata bernama Yunus bin Ubaid. Suatu hari, saat Yunus bin Ubaid hendak ke luar dari kedainya untuk solat, ia menyuruh saudaranya untuk menunggui kedainya. Ketika itu, datanglah seorang Badui yang hendak membeli perhiasan.
Maka, terjadilah transaksi di antara si Badui dan penjaga kedai yang diamanahkan tuannya tadi. Hingga, tanpa penawaran dari si Badui, terjuallah sebuah permata yang harga sebenarnya 200 dirham, dijual seharga 400 dirham.
Di tengah perjalan, orang Badui itu bertemu dengan Yunus. Yunus yang mengenali barang dagangan miliknya yang kini berada di tangan si Badui, bertanya: ”Berapakah harga barang ini kamu beli?” Badui itu pun menjawab, ”Empat ratus dirham.” Mengetahui bahwa orang Badui itu telah dibohongi oleh saudaranya, Yunus bin Ubaid pun mengajaknya kembali ke kedainya, dan berjanji akan mengembalikan uang kelebihan yang telah dibayarkan oleh si Badui.
”Biarlah, tidak perlu. Aku merasa senang dan beruntung dapat memilikinya. Karena, di kampungku, barang seperti ini justru lebih mahal. Paling murah 500 dirham,” ujar si Badui. Namun, Yunus tetap memaksa. Ia tak ingin melepaskan si Badui sebelum ia mau kembali ke kedainya dan mengambil uang kelebihannya.
Setelah Badui itu berlalu dari kedai miliknya, dengan suara ditinggikan, berkatalah Yunus kepada saudaranya: ”Apakah kamu tidak merasa malu dan takut kepada Allah SWT atas perbuatanmu menjual barang tadi dengan harga dua kali lipat?” ”Tetapi, dia sendiri yang mau membelinya dengan harga empat ratus dirham,” ujar saudaranya tanpa rasa bersalah. ”Ya, tetapi di pundak kita terpikul satu amanah untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri,” tegas Yunus bin Ubaid.
Kisah di atas, menunjukkan seorang Yunus bin Ubaid yang menjunjung tinggi kejujuran dalam mencari rezeki. Tak ada keinginan sedikit pun darinya untuk berlaku curang. Karena baginya, harta yang diperoleh dengan kejujuran dan halal, lebih berharga.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jujur berarti tulus, tidak culas, dan lurus hati. Dari ketiga makna tersebut, dapat kita pahami, bahwa sesungguhnya kejujuran adalah sifat yang sangat mulia. Kita bisa membayangkan, bagaimana sebuah perniagaan dapat berjalan dengan baik, aman dan tenteram, tanpa kecurangan, tanpa penipuan.
Sejatinya, kejujuran adalah pancaran iman diri seseorang. Ketika kita yakin bahwa Allah senantiasa melihat, dan malaikat senantiasa mencatat amal perbuatan, maka mustahil bagi kita untuk berani berlaku tak jujur.
Diakui atau tidak, jujur merupakan pangkal sukses hidup dan membawa keberuntungan. Menarik rezeki dari langit dan membuka pintu keberkahan. Tengok saja bagaimana Mohamed Khalil, seorang pengemudi taksi di New York memperoleh keberuntungan atas kejujurannya.
Saat itu, seorang pemain biola terkenal Philippe Quint, secara tidak sengaja meninggalkan biola kesayangannya di tempat duduk belakang taksi milik Khalil pada Mei 2008. Menurut cerita, biola milik Quint itu telah berumur 285 tahun dan dibuat oleh luither paling terkenal di dunia, Antonio Stradivari (1644-1737), dan diperkirakan bernilai sekitar Rp 40 milyar.
Mengetahui keberadaan biola di dalam taksinya, sang pengemudi pun segera menghubungi Quint dan kemudian mengembalikan biola tersebut. Atas jasa Khalil, Quint kemudian memberikan kepadanya sejumlah uang dan tiket konser biola untuk Khalil dan keluarganya. Bukan itu saja. Quint yang pernah dinominasikan mendapat penghargaan musik Grammy Award pun, menggelar konser khusus untuk pengemudi taksi itu selama 30 menit.
Apa yang dilakukan Khalil membuat banyak orang kagum padanya. Kejujuran Khalil pun mendapatkan penghargaan berupa medali dari pemerintah setempat. Betapa tidak, jika Khalil mau, ia bisa menjual biola tersebut dengan harga tinggi, dan itu akan mengubah nasibnya. Namun, Khalil tak melakukannya. Ia tak ingin mengabaikan suara hatinya, berupa kejujuran. Karena, ia memahami, biola itu bukanlah haknya. Dan setelah ia melakukannya, anugerah pun berlimpah kepadanya.
Simak pula kisah Mubarak. Seorang penjaga kebun anggur di wilayah Maru, salah satu kota di Turkeministan. Budak dari Nuh bin Maryam itu mendapatkan keberkahan atas kejujuran dan sikap amanahnya.
Nuh bin Maryam tak lain adalah seorang penguasa dan kadi yang cukup terkenal dan dihormati di seluruh kota Turkeministan. Kharisma yang terpancar dari dirinya, membuat Nuh cukup disegani. Apalagi, ia hidup dalam gelimang harta. Tak ada kebutuhan keluarga dan dirinya sendiri yang tak tercukupi.
Tahun berlalu, Nuh memiliki seorang puteri nan cantik jelita, dan berpendidikan tinggi, yang usianya sudah masuk pada masa pernikahan. Sejumlah petinggi dan orang kaya di kota Maru pun bermaksud melamar puteri Nuh, untuk dijadiakan isteri atau pun menantu.
Sejumlah mas kawin pun diajukan untuk menarik simpati Nuh dan juga puterinya. Tapi, tak satu pun dari para pelamar itu yang mampu menarik simpati Nuh dan memenuhi keinginannya. Nuh juga takut menyakiti perasaan pelamar-pelamar yang lain, apabila ia nekat memilih salah satu di antaranya.
Nuh yang saat itu sedang dalam keadaan bingung, berkunjung ke kebun anggur miliknya, yang ia titipkan pada budak India yang taat beragama bernama Mubarak. Oleh Nuh, Mubarak mendapat kepercayaan penuh untuk menjaga kebun yang lebat dengan pepohonan dan buah-buahan yang berlimpah itu.
”Tolong ambilkan untukku setangkai anggur,” pinta Nuh saat ia bertemu dengan Mubarak. Dengan langkah tunduk, Mubarak pun segera memenuhi keinginan sang majikan. Setangkai anggur masak ia berikan pada Nuh.
Namun, tatkala Nuh menyicipi anggur tersebut, ternyata rasanya sangat masam. Nuh pun meminta kepada budaknya untuk mengambil tangkai anggur yang lain, dan betapa kecewanya Nuh, karena yang diadapatinya lagi-lagi anggur yang masam.
Setelah berulang beberapa kali, Nuh pun bertanya kepada Mubarak. ”Dari kebun yang seluas ini, mengapa engkau memetikkan untukku tangkai-tangkai anggur yang masam?” Sang budak pun menjawab, ”Hamba tidak tahu tuan, mana yang manis dan mana pula yang masam.”
Mendengar jawaban dari budaknya itu, sang majikan mengelus dada, dan seketika mengucapkan kalimat Subhanallah. ”Sudah lama engkau bekerja di sini, kenapa masih belum juga tahu, anggur mana yang manis dan mana pula yang masam?” ”Ini semua adalah hak dan milik tuan, sementara saya hanya hamba, sehingga tiada hak apa pun,” ucap sang Budak. ”Karena itu, hamba belum pernah merasakan setangkai anggur pun dari kebun ini, sehingga saya tidak tahu mana yang asam dan mana yang manis,” imbuhnya.
Nuh terheran-heran. ”Lalu, mengapa engkau tidak memakan anggur-anggur di kebun ini?” Dengan jujur, sang budak menjawab: ”Tuan hanya memerintahkan kepada hamba agar menjaganya. Tidak memberi perintah untuk memakannya. Dan tidak sepatutnya jika hamba mengkhianati apa yang telah tuan perintahkan.”
Nuh berdecak kagum mendengar jawaban tersebut. Ia yakin, budak yang dimilikinya itu adalah seorang yang berkepribadian baik. Jujur, dan teguh dalam memegang amanah. ”Aku kagum kepadamu atas kejujuran dan ketaatanmu dalam menjaga amanah yang telah kuberikan. Maka, aku percaya engkau akan menuruti perintahku.”
Setelah itu, Nuh pun mengungkapkan kegundahannya, perihal banyaknya lamaran yang datang untuk putrinya. ”Aku tidak tahu siapa di antara mereka itu yang akan aku terima lamaranya. Beri aku pendapatmu,” ujar Nuh. Dengan santun, Mubarak pun menjawab. ”Kita tahu bahwa pada masa jahiliyah, orang-orang mendahulukan kedudukan dan ketampanan. Sedangkan orang Yahudi dan Nasrani mendahulukan kecantikan dan ketampanan. Namun, pada zaman Rasulullah, mereka memilih ketakwaan dan kesalehan. Dan pada masa sekarang, orang mengutamakan harta dan kedudukan. Sekrang, tinggal tuan yang memilih, dari keempat hal tersebut,” ujarnya.
Tanpa ragu, Nuh pun berkata: ”Aku akan memilih ketakwaan dan kesalehan. Dan aku tidak ragu untuk memilih engkau sebagai pendamping puteriku.”
Kisah tersebut jelas menunjukkan kepada kita, bahwa kejujuran dan sikap amanah Mubarak, telah memberikan keberkahan kepada dirinya.
Sekarang, mari kita kembali ke negeri kita Indonesia. Kondisi sulit akibat bencana Lumpur Lapindo, tak lantas membuat Waras menjadi ”buta” dan lupa akan fitrah dirinya. Kejujuran yang telah tertanam teguh dalam hatinya, mendorong pria 56 tahun itu untuk mengembalikan kelebihan uang penggantian sebesar Rp 429 juta. Dalam sebuah wawancara, ia mengatakan: ”Saya takut dosa Pak, itu bukan hak saya.”
Kejadian seperti itu mungkin sulit untuk kita bayangkan. Di tengah carut-marut negeri ini, masih ada orang seperti Waras, yang menjunjung tinggi kejujuran. Kita tentu bukan tidak tahu, bahwa ketidakjujuran telah merajai negeri ini, yang ditandai tingginya tingkat korupsi di sini. Akibatnya, banyak rakyat menderita.
Namun, kita tentu tak mau mengalah begitu saja dengan keadaan tersebut. Kisah Yunus bin Ubaid, Mohammed Khalil, Mubarak dan Waras, dengan jelas menunjukkan kepada kita, bahwa masih ada orang-orang yang jujur, dan tak ingin mengambil sesuatu yang bukan haknya. Tentu masih banyak perilaku orang-orang di sekitar kita yang menunjukkan kejujuran. Karena, sesungguhnya kejujuran adalah sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan.
Itulah mengapa salah satu sosiolog dari Universitas Bengkulu, Dra. Yunilisiah, M.Si mengatakan, bahwa makna kejujuran sudah semestinya ada dalam aktivitas keseharian manusia. Karena, orang yang selalu berkata jujur, akan menempati ruang istimewa di hati manusia. Apa pun yang disampaikan olehnya, akan dipercaya orang. Karena sejatinya, kejujuran membawa keberuntungan. Kejujuran membawa keberkahan.
RAHMA HAYATI dari berbagai sumber.