Recent Posts

Senin, 26 Januari 2009

Melukis Keindahan Hidup

Menapaki jalan hidup kadang seperti menggoreskan koas pada sebuah bahan lukisan. Mulus tidaknya goresan sangat bergantung pada jiwa sang pelukis. Jangan biarkan jiwa kering dan gersang. Karena lukisan hanya akan berbentuk benang kusut.

Bayangkan saat diri tertimpa musibah. Ada reaksi yang bergulir dalam tubuh. Tiba-tiba, batin diselimuti khawatir akibat rasa takut, tidak aman, cemas dan ledakan perasaan yang berlebihan. Tubuh menjadi tidak seimbang. Muncullah berbagai reaksi biokimia tubuh: kadar adrenalin dalam darah meningkat, penggunaan energi tubuh mencapai titik tertinggi; gula, kolesterol, dan asam-asam lemak ikut tersalur dalam aliran darah. Tekanan darah pun meningkat. Denyutnya mengalami percepatan. Saat glukosa tersalurkan ke otak, kadar kolesterol naik. Setelah itu, otak pun meningkatkan produksi hormon kortisol dalam tubuh. Dan, kekebalan tubuh pun melemah.

Peningkatan kadar kortisol dalam rentang waktu lama memunculkan gangguan-gangguan tubuh. Ada diabetes, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kanker, luka pada dinding saluran pencernaan, gangguan pernafasan, dan terbunuhnya sel-sel otak.

Nalar pun menjadi tidak sehat. Tidak heran jika orang bisa melakukan sesuatu yang tidak wajar. Di antaranya, bunuh diri, marah yang tak terkendali, tertawa dan menangis yang berlebihan, serta berbagai pelarian lain: penggunaan narkoba dan frustasi yang berlarut-larut.

Kenapa hal tak enak itu bisa mulus bergulir pada diri manusia. Mungkin itu bisa dibilang normal, sebagai respon spontan dari kecenderungan kuat ingin merasakan hidup tanpa gangguan. Tanpa halangan. Tak boleh ada angin yang bertiup kencang. Tak boleh ada duri yang menusuk tubuh. Bahkan kalau bisa, tak boleh ada sakit dan kematian buat selamanya.

Ada beberapa hal kenapa kecenderungan itu mengungkung manusia. Pertama, salah paham soal makna hidup. Kalau hati tak lagi mampu melihat secara jernih arti hidup, orang akan punya penafsiran sendiri. Misalnya, hidup adalah upaya mencapai kepuasan. Lahir dan batin. Padahal kepuasan tidak akan cocok dengan ketidaknyamanan, gangguan, dan kesulitan.

Hal itulah yang bisa menghalangi seorang mukmin untuk berjihad. Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (At-Taubah: 38)

Kedua, kurang paham kalau keimanan selalu disegarkan dengan cobaan. Inilah yang sulit terpahami. Secara teori mungkin orang akan tahu dan mungkin hafal. Tapi ketika cobaan sebagai sebuah kenyataan, reaksi akan lain. Iman menjadi cuma sekadar tempelan.

Firman Allah swt., “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut: 2-3)

Saad bin Abi Waqqash pernah bertanya pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, siapa yang paling berat ujian dan cobaannya?” Beliau saw. menjawab, “Para nabi kemudian yang menyerupai mereka dan yang menyerupai mereka. Seseorang diuji menurut kadar agamanya. Kalau agamanya lemah dia diuji sesuai dengan itu (ringan) dan bila imannya kokoh dia diuji sesuai itu (keras). Seorang diuji terus-menerus sehingga dia berjalan di muka bumi bersih dari dosa-dosa.” (Al-Bukhari)

Kalau ada anggapan, dengan keimanan hidup bisa mulus tanpa mengalami kesusahan dan bencana. Itu salah besar. Justru, semakin tinggi nilai keimanan seseorang, akan semakin berat cobaan yang Allah berikan. Persis seperti emas yang diolah pengrajin hiasan. Kian tinggi nilai hiasan, kian keras emas dibakar, ditempa, dan dibentuk.

Memang, hakikat hidup jauh dari yang diinginkan umumnya manusia. Hidup adalah sisi lain dari sebuah pendakian gunung yang tinggi, terjal, dan dikelilingi jurang. Selalu saja, hidup akan menawarkan pilihan-pilihan sulit. Di depan mata ada hujan dan badai, sementara di belakang terhampar jurang yang dalam.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya. “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?” (Al-Balad: 10-11)

Kesiapan diri tentang jalan hidup yang tak mulus itu mesti ada. Harus terus segar dalam jiwa seorang hamba Allah. Perhatikanlah senyum-senyum para generasi terbaik yang pernah dilukis umat ini. Di antara mereka ada Bilal bin Rabah. Ada Amar bin Yasir.

Masih banyak mereka yang terus tersenyum dalam menapaki pilihan hidup yang teramat sulit. Tanpa sedikit pun ada cemas, gelisah, dan penyesalan. Mereka telah melukis hiasan termahal dalam hidup dengan tinta darah dan air mata.

Di Postkan Oleh : Dakwatuna.com

0 komentar:

Posting Komentar

Submit Your Link